Thursday, December 15, 2016

Yang Baik? Masih Ada!


Bapak itu menolak uang yang pemberian saya. Dia hanya mengatakan sesuatu lalu pergi menjauh dari tangan saya yg masih menggenggam uang untuknya. Saya terharu luar biasa. Untung masih sempat ngucapin terima kasih sebelum dia benar-benar menghilang dari pandangan saya.

Ceritanya, sore sepulang dari kantor, saya menyempatkan diri singgah ke salah satu pasar semi modern di Kota Limboto ini. Sy lagi nyari ikan sagela (khas Gorontalo) untuk memenuhi permintaan teman dari Makassar. Salah satu kios yang memajang ikan tersebut pun menjadi pilihan saya. Penjualnya, seorang ibu berusia lanjut. Saat proses transaksi, tiba2 seorang Bapak datang menghampiri kami. Dia menawarkan bantuan melepas ikan satu per satu dari wadahnya dan membuat wadah baru dalam bentuk kemasan siap kirim. Sy seksama mengamati aktivitasnya dari kios satu ke kios yang lainnya, mencari semua bahan yang ia butuhkan. Smua yang sy saksikan membuat sy terharu, hanya untuk 1 kiriman itu, dia begitu sibuk. Sambil sesekali melangkah dan mematung, pandangan sy seksama mengikuti pergerakan ikan sagela yang sudah di tangannya yang terakhir berpindah ke tangan seorang ibu penjual kue. Ibu itu nampak kebagian tahap proses pengemasan. Mereka seperti sebuah sistem dengan elemen-elemen yang utuh, bekerja untuk satu tujuan membantu sesama atas nama keikhlasan. :)

Dan, selesai. Bpk itu menghampiri saya dan menyodorkan sebuah paket bungkusan yang telah dikemas dengan rapi. Sy lalu mengeluarkan selembar uang untuk Bapak itu, namun spontan ia menolak dengan alasan dia ikhlas membantu saya. Saya bilang bahwa ini juga titipan dari teman saya, jd mohon uang ini bpk terima. Dia tetap menolak lalu menghilang. Rasanya ada perasaan bersalah yang menyeruak tiba2, mengapa seolah semua harus sy nilai dengan uang? Namun justru hal inilah yang hampir tak saya temukan lagi kemarin-kemarin. Pengalaman beberapa tahun tinggal di lingkungan perkotaan penyangga ibu kota negara, lingkungan di mana pekerjaan dan uang memiliki relasi begitu kuat dan signifikan. Sekecil apapun meminta bantuan orang, selalu ada nilai nominalnya. Tapi di sisi lain lagi, saya juga memahami bahwa kerasnya hidup di kota lah yang memaksa pola hubungan antar sesama terbentuk seperti itu.
Karenanya, saat hijrah kembali ke kota kecil di bagian atas pulau berbentuk K ini, apa yang saya alami kemarin adalah proses penyadaran yang berulang bersama beberapa kejadian lainnya, bahwa... di sini lain sayang...

Kejadian itu juga sempat membersitkan ingatan tentang para oknum yang korup dan para politisi yang begitu mudah mengumbar janji2 manis saat kampanye. Bahwa janji itu adalah harapan bagi mereka di sini; jauh dari hiruk pikuk ruang sidang yang sibuk dengan gonta ganti pemimpin demi kepentingan partai. Ah Bunda Pertiwi, sy bersyukur masih menemukan perangaimu yang santun di sini.

No comments: