Saya ternyata
harus menunggu beberapa tahun utk menyadari betapa berharganya foto ini bagi diri
saya pribadi. Msh banyak puncak gunung lain yang lebih tinggi, tp utk seorang
pemula, melakukan ekspedisi semacam ini bukan sesuatu yg mudah.
Keputusan untuk ikut
dalam ekspedisi ini sebenarnya tak direncanakan sama sekali. Terlebih, tepat sepekan
kemudian saya akan menjalani prosesi wisuda sarjana. Moment yang tentunya sudah
ditunggu-tunggu orang-orang terdekat saya, terutama Bapak dan Ibu. Tapi saat
ajakan teman datang, akhirnya saya “iya”kan. Takut dan khawatir jujur ada.
Jangan sampai saya kenapa-kenapa. Mendaki gunung dimana tak sedikit “cerita”
kegagalan mencapai puncak juga ada di sana.
Jumat siang
selepas shalat, Tim Kecil kami berjumlah empat orang, start meninggalkan Makassar
menuju Gowa. Tiba di Lembana, kami singgah ke rumah salah satu warga untuk
istirahat dan mengecek semua perlengkapan. Hari sudah malam. Saya pikir akan
menginap dulu lalu memulai pendakian esok paginya. Ternyata, sekitar pukul
20.00, saya dan Tim sudah bersiap dan langsung start malam itu juga. Hanya
berbekal senter, kami menelusuri jalan setapak yang tak saya tahu seperti apa
persis liukannya.
Saya tidak merekam
jelas bagaimana Pos I sampai Pos V saya lewati. Hanya sesekali kami istirahat. Saya
sendiri lebih sibuk bagaimana bisa melewati jalan tanpa tersandung atau terkait
akar dan bagian tumbuhan lain di depanku. Oh iya, satu lagi yang menarik. Di
tengah perjalanan, Tim tiba-tiba berhenti, sejenak mengajak bercengkerama
dengan suasana hening, lalu ditutup dengan sesi berdoa. Di dekat kami ada
makam, katanya itu salah satu pendaki yang tewas di gunung ini. Duh… begini ya solidaritas
di antara mereka, sesama para pendaki.
Sesampai di Pos
VI, sekitar pukul 02.00 dini hari, Tim memutuskan untuk mendirikan tenda dan
melanjutkan perjalanan keesokan harinya. Selain karena alasan medan yang sudah
mulai berat menuju pos VII, dari atas juga terdengar ada badai dan terlalu
beresiko jika harus melanjutkan perjalanan malam itu juga.
Tenda berdiri, menghangatkan
diri di depan api unggun kecil, memperhatikan teman yang terus menerus menaburi
lilin yang menyala dengan garam (katanya biar tahan lama) dst… lalu lelap dalam
dekapan alam yang dingin.
Pagi pun tiba. Ada
saja hal-hal yang membuatku seperti anak kecil yang baru tahu sesuatu. Salah
seorang dari Tim, kakinya berdarah. Ternyata ada lintah. Saya hanya
memperhatikan ketika dia mengobati bekas gigitan lintah dengan serbuk tembakau.
Setelah sarapan,
Tim melanjutkan perjalanan menuju Pos VII. Perjalanan sangat saya nikmati
karena hari sudah terang. Medan serta jalur dan pemandangan sekeliling tak lagi
‘sepelit’ semalam.
Perjalanan Pos VII
ke Pos VIII membuat saya takjub luar biasa. Saya seperti masuk ke dalam alam mimpi.
Dalam hati saya kala itu menyebut areanya Taman Firdaus. Vegetasi berupa pohon yang
tingginya seragam diliputi lumut yang hijau dan lembab. Meski merangkak karena
medan yang berat dan licin, tapi kekaguman saya menyaksikan semua tumbuhan
indah itu masih jauh lebih besar. Subhanallah…
Tiba di Pos VIII, saya
disuguhi pemandangan seperti lapangan hijau yang sangat luas. Nampak beberapa
pohon yang tingginya sama, persis lukisan. Di pos ini, hawa dingin yang sangat menusuk
mulai menyerang. Beberapa kali saya berusaha untuk menggerak-gerakkan badan
untuk mempertahankan suhu tubuh agar tetap stabil. Saya coba menengadah melihat
awan di atasku. Gerakannya begitu cepat, membuat mendung dan cerah bergantian
hanya dalam beberapa menit yang singkat. Tak lama di pos ini, kami melanjutkan
perjalanan menuju Pos IX.
Menuju pos IX, nyali
saya agak ciut. Ya Allah, saya semakin jauh meninggalkan kamarku. Hahaha.
Perasaanku campur aduk. Apalagi saat mencoba menengok ke bawah. Tepat di salah
satu titik, dekat ujung jurang, di bawah terlihat seperti reruntuhan. Saya
benar-benar takut dan ingin menangis. Tapi, akhirnya saya berserah, berdoa dan meluruskan
kembali niat, perjalanan ini semoga lancar dan tak apa-apa. Sabtu depannya,
saya wisuda. Saya masih ingin melihat senyum orang-orang tercintaku saat mengenakan
toga.
Perasaan campur
adukku berlanjut. Untuk mencapai Pos X ternyata harus manjat dan merangkak di
antara bebatuan yang cukup curam. Sungguh, nyaliku sudah hampir habis. Akhirnya
dengan dibantu Tim, sampai juga di Pos X, pos terakhir. Lega banget rasanya.
Hal pertama yang
saya lakukan, melihat teman mencuci wajahnya di sungai kecil yang airnya begitu
dingin, saya bergegas berwudhu dan shalat zuhur di atas bebatuan.
Yang lucu, saya
pikir Pos X itu sudah puncak, hehehe. Ternyata bukan. Kalau mau ke puncak, di
sana ada tugu, tinggal mendaki sedikit lagi, sekitar 5 menit. O ow..
Tak sabar melihat tugu
yang dimaksud, saya ditemani teman pun bergerak ke arah puncak. Di sini,
ternyata harus hati-hati. Kabutnya lumayan tebal untuk ukuran siang hari. Kabut
hanya mengizinkan pandangan kami hanya sejauh 1 m. Jadi tetap harus hati-hati. Kalau
salah arah, bisa-bisa fatal akibatnya. Ini hampir saya alami, ketika pas ingin
kembali ke Pos X, arah saya salah. Kabut menghalangi pandangan saya, tapi saya
masih saja terus berjalan karena menganggap jaraknya enteng, cuma 5 menit. Alhamdulillah,
beruntung teman masih sempat menjangkau pandangannnya ke saya. Ini jadi bagian
pelajaran penting saya waktu itu, jangan takabur terlebih ketika berhadapan
langsung dengan ketidakpastian alam.
Saya dan Tim menginap
semalam di Pos X. Menikmati hangatnya api unggun di malam yang indah tapi super
duper dingin. Singkat cerita, bangun pagi, sarapan kami ditemani seekor burung.
Entah burung apa. Kelihatan begitu jinak dan tidak takut mendekati kami. Di tempat
seperti ini, dia sendirian aja. Sepertinya sudah terbiasa dengan cuaca super
dingin dan akrab dengan manusia. Dan…
hai, dia suka mie instan sisa. Hehehe.
Tiba di bagian
akhir ekspedisi ini, perjalanan menuruni punggung hingga kaki gunung tak
terlalu menemui rintangan, kecuali perasaan sedih layaknya sebuah perpisahan.
“Entah kapan bisa
kembali, mengingat saya bukan pendaki ulung, saya hanya pemula yang bangga bisa
merasakan langsung keagungan Tuhan di puncakmu, Bawakaraeng”.