Tuesday, March 04, 2014

Catatan 4 Maret 2014


(Date Taken 4 Maret 2014)

Bacaan dan lafadzku, sadar belum sempurna. Tapi kesyukuran luar biasa ketika saya masih diberi waktu untuk bisa mengkhatamkannya kembali. Alhamdulilllah..


Saturday, March 01, 2014

BAWAKARAENG: Ekspedisi Yang Hampir Terlupakan

 

 

Saya ternyata harus menunggu beberapa tahun utk menyadari betapa berharganya foto ini bagi diri saya pribadi. Msh banyak puncak gunung lain yang lebih tinggi, tp utk seorang pemula, melakukan ekspedisi semacam ini bukan sesuatu yg mudah.

Keputusan untuk ikut dalam ekspedisi ini sebenarnya tak direncanakan sama sekali. Terlebih, tepat sepekan kemudian saya akan menjalani prosesi wisuda sarjana. Moment yang tentunya sudah ditunggu-tunggu orang-orang terdekat saya, terutama Bapak dan Ibu. Tapi saat ajakan teman datang, akhirnya saya “iya”kan. Takut dan khawatir jujur ada. Jangan sampai saya kenapa-kenapa. Mendaki gunung dimana tak sedikit “cerita” kegagalan mencapai puncak juga ada di sana.

Jumat siang selepas shalat, Tim Kecil kami berjumlah empat orang, start meninggalkan Makassar menuju Gowa. Tiba di Lembana, kami singgah ke rumah salah satu warga untuk istirahat dan mengecek semua perlengkapan. Hari sudah malam. Saya pikir akan menginap dulu lalu memulai pendakian esok paginya. Ternyata, sekitar pukul 20.00, saya dan Tim sudah bersiap dan langsung start malam itu juga. Hanya berbekal senter, kami menelusuri jalan setapak yang tak saya tahu seperti apa persis liukannya.

Saya tidak merekam jelas bagaimana Pos I sampai Pos V saya lewati. Hanya sesekali kami istirahat. Saya sendiri lebih sibuk bagaimana bisa melewati jalan tanpa tersandung atau terkait akar dan bagian tumbuhan lain di depanku. Oh iya, satu lagi yang menarik. Di tengah perjalanan, Tim tiba-tiba berhenti, sejenak mengajak bercengkerama dengan suasana hening, lalu ditutup dengan sesi berdoa. Di dekat kami ada makam, katanya itu salah satu pendaki yang tewas di gunung ini. Duh… begini ya solidaritas di antara mereka, sesama para pendaki.

Sesampai di Pos VI, sekitar pukul 02.00 dini hari, Tim memutuskan untuk mendirikan tenda dan melanjutkan perjalanan keesokan harinya. Selain karena alasan medan yang sudah mulai berat menuju pos VII, dari atas juga terdengar ada badai dan terlalu beresiko jika harus melanjutkan perjalanan malam itu juga.

Tenda berdiri, menghangatkan diri di depan api unggun kecil, memperhatikan teman yang terus menerus menaburi lilin yang menyala dengan garam (katanya biar tahan lama) dst… lalu lelap dalam dekapan alam yang dingin.

Pagi pun tiba. Ada saja hal-hal yang membuatku seperti anak kecil yang baru tahu sesuatu. Salah seorang dari Tim, kakinya berdarah. Ternyata ada lintah. Saya hanya memperhatikan ketika dia mengobati bekas gigitan lintah dengan serbuk tembakau.

Setelah sarapan, Tim melanjutkan perjalanan menuju Pos VII. Perjalanan sangat saya nikmati karena hari sudah terang. Medan serta jalur dan pemandangan sekeliling tak lagi ‘sepelit’ semalam.

Perjalanan Pos VII ke Pos VIII membuat saya takjub luar biasa. Saya seperti masuk ke dalam alam mimpi. Dalam hati saya kala itu menyebut areanya Taman Firdaus. Vegetasi berupa pohon yang tingginya seragam diliputi lumut yang hijau dan lembab. Meski merangkak karena medan yang berat dan licin, tapi kekaguman saya menyaksikan semua tumbuhan indah itu masih jauh lebih besar. Subhanallah…

Tiba di Pos VIII, saya disuguhi pemandangan seperti lapangan hijau yang sangat luas. Nampak beberapa pohon yang tingginya sama, persis lukisan. Di pos ini, hawa dingin yang sangat menusuk mulai menyerang. Beberapa kali saya berusaha untuk menggerak-gerakkan badan untuk mempertahankan suhu tubuh agar tetap stabil. Saya coba menengadah melihat awan di atasku. Gerakannya begitu cepat, membuat mendung dan cerah bergantian hanya dalam beberapa menit yang singkat. Tak lama di pos ini, kami melanjutkan perjalanan menuju Pos IX.

Menuju pos IX, nyali saya agak ciut. Ya Allah, saya semakin jauh meninggalkan kamarku. Hahaha. Perasaanku campur aduk. Apalagi saat mencoba menengok ke bawah. Tepat di salah satu titik, dekat ujung jurang, di bawah terlihat seperti reruntuhan. Saya benar-benar takut dan ingin menangis. Tapi, akhirnya saya berserah, berdoa dan meluruskan kembali niat, perjalanan ini semoga lancar dan tak apa-apa. Sabtu depannya, saya wisuda. Saya masih ingin melihat senyum orang-orang tercintaku saat mengenakan toga.

Perasaan campur adukku berlanjut. Untuk mencapai Pos X ternyata harus manjat dan merangkak di antara bebatuan yang cukup curam. Sungguh, nyaliku sudah hampir habis. Akhirnya dengan dibantu Tim, sampai juga di Pos X, pos terakhir. Lega banget rasanya.

Hal pertama yang saya lakukan, melihat teman mencuci wajahnya di sungai kecil yang airnya begitu dingin, saya bergegas berwudhu dan shalat zuhur di atas bebatuan.

Yang lucu, saya pikir Pos X itu sudah puncak, hehehe. Ternyata bukan. Kalau mau ke puncak, di sana ada tugu, tinggal mendaki sedikit lagi, sekitar 5 menit. O ow..

Tak sabar melihat tugu yang dimaksud, saya ditemani teman pun bergerak ke arah puncak. Di sini, ternyata harus hati-hati. Kabutnya lumayan tebal untuk ukuran siang hari. Kabut hanya mengizinkan pandangan kami hanya sejauh 1 m. Jadi tetap harus hati-hati. Kalau salah arah, bisa-bisa fatal akibatnya. Ini hampir saya alami, ketika pas ingin kembali ke Pos X, arah saya salah. Kabut menghalangi pandangan saya, tapi saya masih saja terus berjalan karena menganggap jaraknya enteng, cuma 5 menit. Alhamdulillah, beruntung teman masih sempat menjangkau pandangannnya ke saya. Ini jadi bagian pelajaran penting saya waktu itu, jangan takabur terlebih ketika berhadapan langsung dengan ketidakpastian alam.

Saya dan Tim menginap semalam di Pos X. Menikmati hangatnya api unggun di malam yang indah tapi super duper dingin. Singkat cerita, bangun pagi, sarapan kami ditemani seekor burung. Entah burung apa. Kelihatan begitu jinak dan tidak takut mendekati kami. Di tempat seperti ini, dia sendirian aja. Sepertinya sudah terbiasa dengan cuaca super dingin dan akrab dengan manusia.  Dan… hai, dia suka mie instan sisa. Hehehe.

Tiba di bagian akhir ekspedisi ini, perjalanan menuruni punggung hingga kaki gunung tak terlalu menemui rintangan, kecuali perasaan sedih layaknya sebuah perpisahan.

“Entah kapan bisa kembali, mengingat saya bukan pendaki ulung, saya hanya pemula yang bangga bisa merasakan langsung keagungan Tuhan di puncakmu, Bawakaraeng”.