Hukum kekekalan energi dalam fisika menyatakan bahwa energi tidak bisa diciptakan atau dimusnahkan, hanya bisa berubah bentuk dari satu wujud ke wujud lain. Sedangkan “rezeki” adalah konsep yang lebih luas, sering dipahami dalam dimensi sosial, psikologis, dan spiritual.
Hubungannya bisa dipahami dari beberapa sudut pandang:
-
Analogi keterbatasan dan transformasi
Energi di alam semesta jumlahnya tetap, hanya berpindah atau berubah bentuk. Begitu pula rezeki: ia bukan sekadar datang dari “kosong”, tapi hasil dari transformasi usaha, sumber daya, dan kesempatan. Misalnya, uang yang kita terima berasal dari energi orang lain yang bekerja, sumber daya alam yang diproses, atau jaringan sosial yang terbentuk. -
Distribusi, bukan penciptaan dari ketiadaan
Sama seperti energi, rezeki lebih banyak soal distribusi daripada “penciptaan mutlak”. Ketika seseorang mendapatkan rezeki melalui usaha, perdagangan, atau pekerjaan, itu biasanya hasil dari aliran nilai dari pihak lain. -
Hukum sebab-akibat
Kekekalan energi menunjukkan keteraturan alam: setiap akibat ada sebabnya. Rezeki pun terikat dengan hukum sebab-akibat: kerja, doa, jaringan, berbagi, dan ikhtiar menjadi sebab datangnya hasil. -
Dimensi spiritual dan keadilan
Dalam pandangan religius, rezeki tiap orang sudah diatur oleh Tuhan. Jika dikaitkan dengan hukum energi, bisa dipahami bahwa rezeki tidak muncul “tiba-tiba”, tetapi mengikuti alur, hukum, dan mekanisme tertentu di alam semesta yang konsisten. -
Tanggung jawab penggunaan
Energi yang ada tidak bisa dimusnahkan, hanya dipindahkan. Rezeki pun demikian: ia bisa dialirkan, dibagi, atau dimanfaatkan untuk memberi manfaat pada orang lain. Cara seseorang “mentransfer” rezekinya akan berpengaruh pada aliran rezeki berikutnya.
Jadi, relevansinya lebih pada analogi filosofis: rezeki, seperti energi, tidak lepas dari hukum keteraturan, transformasi, dan aliran. Bedanya, energi bisa diukur secara ilmiah, sedangkan rezeki juga punya dimensi batin dan spiritual.
Tinjauan Reflektif - Filosofis
Hukum kekekalan energi mengingatkan kita bahwa segala sesuatu di alam semesta ini tidak pernah benar-benar hilang, hanya berubah bentuk dan berpindah tempat. Ketika kita kaitkan dengan rezeki, kita bisa merenung bahwa rezeki pun sejatinya adalah bagian dari “energi kehidupan” yang senantiasa mengalir. Ia tidak diciptakan begitu saja dari ketiadaan, melainkan hasil dari perputaran nilai, usaha, dan kebaikan yang bergerak dari satu tangan ke tangan lain, dari satu ruang ke ruang lain.
Dalam hal ini, rezeki bukan semata angka di buku tabungan, melainkan aliran energi yang hadir dalam bentuk pengalaman, kesehatan, pertemuan, peluang, bahkan kedamaian batin. Sama seperti energi yang bisa berubah wujud—dari panas menjadi gerak, dari listrik menjadi cahaya—rezeki pun tampil dalam rupa yang berbeda-beda sesuai kebutuhan hidup seseorang.
Kekekalan energi juga mengajarkan tentang keteraturan dan keadilan kosmis. Tidak ada sesuatu yang benar-benar lenyap, melainkan hanya bertransformasi. Begitu juga rezeki: ketika kita berbagi, memberi, atau membantu orang lain, rezeki itu tidak hilang, tetapi berubah wujud menjadi keberkahan, jaringan sosial, atau bahkan ketenangan jiwa. Dengan cara itu, hukum alam dan hukum spiritual seolah saling berjumpa: memberi tidak pernah membuat kita kekurangan, melainkan mengalirkan energi hidup agar kembali pada kita dengan bentuk yang berbeda.
Refleksi ini menuntun kita untuk melihat rezeki bukan sekadar hasil kerja keras individual, melainkan bagian dari jejaring kehidupan yang lebih luas. Kita adalah titik-titik kecil di dalam aliran energi kosmos, dan dengan menyadari itu, kita belajar bersyukur, berikhtiar, sekaligus menjaga aliran itu agar tetap memberi manfaat, bukan sekadar untuk diri sendiri, tapi juga untuk sesama dan semesta.