Butuh sedikit tambahan keberanian
untuk menulis ini. Tentang sebuah nama. Usahlah kusebut namanya, inisialnya
sekalipun. Dia teman waktu sekolah dulu, kami begitu dekat. Tapi sungguh bukan “pacaran”.
Motivasi dan wejangan layaknya dari seorang kakak seperguruan selalu ada, meluruskan
langkah-langkahku untuk maju dan berkembang lebih baik, terutama dalam hal
organisasi.
Pernah sekali waktu saya
bermasalah dengan salah satu guru, beberapa lembar surat langsung melayang
padaku, dari dia. Sebanyak 7 lembar ditulisnya dengan begitu sistematis.
Sayangnya, aku bukan penyimpan yang baik. Kertas-kertas berharga itu entah di mana
rimbanya kini. Tapi, aku masih ingat benar apa isinya. Bahwa : “masalah itu
adalah tanda kehidupan… Tuhan tidak memberi penyelesaian masalah kita layaknya
sebuah bingkisan kado…dst.” Aku masih ingat.
Saya tidak ingin mengungkit apa
penyebab sehingga silaturrahim kami malah terkesan “putus”. Semua mungkin saja
malah membuat masing-masing dari kami saling risih satu sama lain. Tp.. saya tidak
mau berspekulasi lebih jauh tentang ini. Ya Allah, ini sama sekali tak penting
bagiku. Sekarang di pikiranku, jauh lebih penting bagaimana mengembalikan aura
persaudaraan yang dulu, agar kembali cair setelah lama beku.
"Untuk Kak ****** ********* Salam
Hormat dan Banggaku slalu untukmu. Kutulis ini, karena aku tahu Tuhan tidak membuat pita kado untuk sambungan silaturrahim kita. Kita yang akan menyambung dan kita pulalah yang akan meng-indah-kannya".
Saturnus, 260613